Sunday, March 27, 2011

Perkembangan industri telekomunikasi: lahirnya industri penyewaan menara telekomunikasi, aspek akuntansi, dan pertimbangan bagi investor


Lahirnya Industri Penyewaan Menara Telekomunikasi

Terdapat beberapa dampak dari persaingan usaha, dimana salah satunya tercermin dari persaingan antar perusahaan telekomunikasi yang berakhir pada "perang harga" antar perusahaan. Kondisi ini memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi atas biaya serta pembenahan terhadap proses bisnis, dimana salah satu wujud dari strategi tersebut adalah dengan "melepas" unit bisnis yang dianggap tidak menghasilkan nilai tambah. Banyak perusahaan telekomunikasi yang mulai melepas aset dalam bentuk menara telekomunikasi-nya kepada pihak ketiga dalam upaya untuk menekan biaya perawatan dan pengawasan yang dianggap mengganggu operasional core business-nya.

Pengelolaan menara telekomunikasi dianggap sebagai proses bisnis yang menyulitkan perusahaan telekomunikasi, hal ini disebabkan  antara lain oleh:
  1. Proses perijinan pada saat pembangunan awal sering kali harus melalui proses yang cukup sulit karena melibatkan perijinan dari warga sekitar lokasi yang akan dibangun.
  2. Penjagaan aset membutuhkan tenaga kerja tambahan.
  3. Perawatan menara membutuhkan perhatian khusus, sering kali dengan melakukan kerjasama dengan pihak ketiga.
  4. Modal yang dibutuhkan untuk membangun 1 menara telekomunikasi cukup besar (+/- IDR 500juta - IDR 1 Milyar tergantung pada tinggi tower yang akan dibangun).

Berawal dari kesulitan-kesulitan tersebut, bermunculanlah perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan bisnisnya pada penyewaan menara telekomunikasi (BEI menggolongkan perusahaan dengan jenis bisnis ini ke dalam golongan industri Konstruksi Non-Bangunan). Hingga May 2012, terdapat tiga perusahaan terbuka yang bergerak dalam bisnis penyewaan ini (PT Sarana Menara Nusantara Tbk - TOWR, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk - TBIG dan PT Solusi Tunas Pratama Tbk - SUPR) . 

Aspek Akuntansi


Pertama, mari kita lakukan perbandingan dari segi definisi yang menurut penulis sudah menimbulkan "grey area" pada saat penerapan PSAK 13 (rev 2007) dan PSAK 16 (rev 2007).

Definisi Properti Investasi berdasarkan PSAK 13 (Rev 2007) adalah sebagai berikut:

properti (tanah atau bangunan atau bagian dari suatu bangunan atau kedua-duanya)yang dikuasai (oleh pemilik atau lessee/penyewa melalui sewa pembiayaan) untuk menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau kedua-duanya, dan tidak untuk:
(a) digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan administratif; atau
(b) dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari.




Sedangkan definisi Aset Tetap berdasarkan PSAK 16 (rev 2007) adalah sebagai berikut:

aset berwujud yang:
(a) dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
(b)diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.
Berdasarkan perbandingan definisi tersebut, maka PSAK 13 jelas merupakan standar yang dibuat untuk mencakup aset tetap yang tidak diatur dalam PSAK 16. Grey area dari kedua definisi tersebut adalah pada kalimat yang terdapat pada PSAK 13 yaitu "menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau kedua-duanya..". Hal ini menimbulkan definisi yang kurang jelas karena pada PSAK 16 terdapat kalimat "..penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain....".  

Penjelasan atas grey area tersebut sebenarnya sudah coba dijelaskan melalui penjelasan pada paragraf 7 PSAK 13, sebagai berikut:
"Properti investasi dapat dikuasai untuk menghasilkan rental atau untuk mendapatkan kenaikan nilai atau kedua-duanya. Dengan demikian, properti investasi tersebut menghasilkan arus kas yang sebagian besar tidak tergantung pada aset lain yang dikuasai oleh entitas. Hal ini membedakan properti investasi dari properti yang digunakan sendiri. Proses produksi atau pengadaan barang atau jasa (atau penggunaan properti untuk tujuan administratif) dapat menghasilkan arus kas yang diatribusikan tidak hanya ke properti, tetapi juga ke aset lain yang digunakan dalam proses produksi atau persediaan. PSAK 16: Asset Tetap berlaku untuk properti yang digunakan sendiri.

Terdapat perbedaan penggunaan standar akuntansi untuk perusahaan telekomunikasi dengan perusahaan penyewaan menara telekomunikasi. Bagi perusahaan telekomunikasi (operator selular), menara telekomunikasi diklasifikasikan sebagai aset tetap perusahaan, dengan mempertimbangkan bahwa menara tersebut digunakan untuk menghasilkan pendapatan berupa tarif sewa dari pemakaian frekuensi telekomunikasi (PSAK 16), dan bagi perusahaan penyewaan menara telekomunikasi, menara telekomunikasi digolongkan sebagai suatu properti investasi (PSAK 13). Perbedaan ini didasari pertimbangan-pertimbangan berikut:
  1. menara telekomunikasi dapat digolongkan sebagai bangunan atau bagian dari suatu bangunan atau kedua-duanya.
  2. umumnya dikuasai oleh perusahaan atau disewa oleh perusahaan (sewa tersebut harus dapat digolongkan sebagai sewa pembiayaan).
  3. menara telekomunikasi dapat menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau kedua-duanya.
  4. menara telekomunikasi tidak digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan administratif sebagaimana jika menara telekomunikasi tersebut dimiliki oleh perusahaan telekomunikasi (operator selular).
  5. menara telekomunikasi tidak dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari perusahaan (PSAK 13, par. 5).
  6. Arus kas yang dihasilkan oleh menara telekomunikasi dapat dipisahkan dari aset entitas lainnya (PSAK 13, par.7).

Dari pembahasan tersebut di atas, maka perusahaan yang menyewakan menara telekomunikasi, sudah seharusnya menerapkan PSAK 13 untuk pengakuan, penyajian dan pengungkapan menara telekomunikasi.


Berdasarkan perbandingan yang penulis lakukan antara laporan keuangan TBIG dan SUPR dengan TOWR,  terdapat dua perbedaan yang signifikan antara kedua perusahaan yang menjalankan bisnis yang sama tersebut, yaitu:
  1. TBIG menggunakan PSAK 13 sebagai dasar pengakuan dan memilih metode nilai wajar sebagai dasar pengakuan, penyajian dan pengungkapan. TOWR menggunakan PSAK 16 sebagai dasar pengakuan dan menggunakan metode revaluasi sebagai dasar pengakuan , penyajian dan pengungkapan. Dampak dari perbedaan tersebut, TBIG mengakui nilai wajar atas properti investasi melalui Laporan Laba Rugi, sedangkan TOWR mengakui pengaruh revaluasi melalui ekuitas. TOWR mengakui perubahan ekuitas anak perusahaan atas revaluasi, dimana hal ini membuat perbandingan kedua perusahaan pada beberapa rasio yang terkait dengan total ekuitas menjadi sulit dilakukan.
  2. TBIG tidak mengakui pendapatan dari Repeater dan IBS (alat penguat sinyal yang dapat diletakkan di dalam suatu gedung) sebagai pendapatan sewa operasi sebagaimana yang dilakukan oleh TOWR. Hal ini dapat saja terjadi, tergantung bagaimana perusahaan membuat perjanjian dengan operator selular sebagai konsumennya. 
Hal yang cukup mengejutkan adalah ketiga perusahaan tersebut sama-sama merupakan perusahaan terbuka (TBIG dan TOWR melakukan IPO pada 2010, sedangkan SUPR IPO pada 2011). Seharusnya lembaga pengawas pasar modal melakukan kajian atas perbedaan yang terjadi, ketidak konsistenan lembaga pengawas pasar modal dapat berimbas pada kesalahan keputusan ekonomi yang dilakukan oleh investor. Jika memang salah satu dari perusahaan tersebut menerapkan kebijaksanaan akuntansi yang salah, seharusnya lembaga pengawas melakukan teguran kepada perusahaan terkait. Sebagai informasi tambahan, TOWR diaudit oleh EY, TBIG diaudit oleh BDO dan SUPR diaudit oleh AAJ.


Pertimbangan Investor


Terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh investor saat melakukan analisa untuk investasi pada kedua perusahaan ini, antara lain:
  1. Penggunaan PSAK 13 oleh TBIG memperbolehkan perusahaan untuk menyajikan menara telekomunikasi pada nilai wajarnya melalui penilaian oleh pihak independen (appraisal). Penilaian tersebut dapat mengecoh pembaca laporan keuangan karena nilainya yang dapat berubah-ubah, serta dapat mempertinggi net profit perusahaan. Hal ini menyebabkan laporan keuangan TBIG dan TOWR akan sulit untuk diperbandingkan.
  2. Belum dilakukannya pemisahan antara pendapatan sewa yang digolongkan sebagai sewa pembiayaan dengan pendapatan sewa yang digolongkan sebagai sewa operasional oleh TBIG (kecil kemungkinan operator selular mau melakukan perjanjian dengan bentuk yang berbeda dengan yang dilakukan oleh kompetitornya). Jika perusahaan mau melakukan re-state laporan keuangan, maka seharusnya re-state tersebut berdampak pada peningkatan rasio keuangan. Hal ini dapat terjadi karena penerapan PSAK 30 tersebut akan memperbesar rasio perputaran aset perusahaan serta timbulnya piutang sewa perangkat repeater atau IBS.

Demikian pembahasan yang dapat saya lakukan, mohon informasinya jika terdapat kesalahan dalam pembahasan di atas. Silahkan hubungi saya melalui email di  andreassinulingga@gmail.com atau andreassinulingga@yahoo.com atau melalui nomor+62812-6010-946


Rgds,

Andreas


Butuh tambahan penghasilan? cara sangat mudah. Silahkan mencoba apa yang saya telah coba:
KLIK DI SINI  


no-minimum.com